Wednesday, March 26, 2008

Dilema Tarif Listrik

Seperti yang kita ketahui beberapa saat yang lalu masyarakat sempat ribut mengenai rencana implementasi tarif insentif dan disinsentif listrik kepada rakyat yang terlihat tidak adil. Namun saat ini pemerintah membatalkan rencana tersebut dan menggantinya dengan mengenakan tarif nonsubsidi untuk pelanggan listrik yang pemakaiannya melebihi rata-rata nasional. (http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.25.01390229&channel=2&mn=155&idx=155).

Adapun tarif multiguna atau tarif nonsubsidi tersebut rencananya akan diujicobakan mulai April 2008 kepada pelanggan rumah tangga golongan 3 (R3) di lima provinsi. Kelima provinsi itu adalah Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Adapun alasannya, R3 adalah golongan masyarakat mampu yang masih menikmati tarif listrik subsidi. Tarif listrik R3 Rp 900 per kWh, sementara biaya pokok penyediaan oleh PLN mencapai Rp 1.300 per kWh.

Terkait dengan tarif listrik tersebut, saya ingin sedikit mengulas mengenai landasan hukum yang berlaku. Indonesia sebagai negara hukum, pasti memiliki landasan hukum atas sesuatu yang dikenakan kepada rakyat banyak. Terkait dengan tarif listrik tersebut, maka setidaknya ada beberapa landasan hukum yang harus diperhatikan yakni mulai dari UUD pasal 33 ayat 2 yang berbunyi "Cabang produksi yg penting bagi negara dan yg menguasai hajat hidup org banyak harus dikuasai oleh negara". Diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No 001-021-022/PUU-I/2003 yang berbunyi "Listrik adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, karenanya listrik harus dikuasai oleh negara". Keputusan MK tersebut yang membatalkan unbundling ditubuh PLN.

Selain itu terdapat pula UU No15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, pada pasal 16 disebutkan dengan jelas "Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik", dijelaskan bahwa dalam mengatur dan menetapkan harga jual tenaga listrik pemerintah senantiasa memperhatikan rakyat serta kemampuan dari masyarakat. Selain itu terdapat juga Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, pada pasal 32 disebutkan bahwa :
1. harga jual tenaga listrik ditetapkan oleh presiden berdasarkan usul menteri
2. dalam mengusulkan harga jual tenaga listrik, menteri harus memperhatikan hal2 sebagai berikut : kepentingan rakyat dan kemampuan dari masyarakat; kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat; biaya produksi; efisiensi pengusahaan; kelangkaan sumber energi primer yang digunakan; skala pengusahaan dan sistem interkoneksi yang digunakan; tersedianya sumber dana untuk investasi.

Dari aturan-aturan hukum tersebut jelas bahwa tarif listrik atau TDL haruslah ditetapkan oleh presiden atas usul menteri, hal ini dapat berupa Keputusan Presiden (keppres). Atas dasar itulah keluar Keppres No 104 tahun 2003 (masih berlaku) tentang Harga Jual Tenaga Listrik tahun 2004 yang Disediakan oleh Persero PT PLN. Dalam Keppres tersebut cukup jelas penetapan dasar tarif listrik untuk golongan S (golongan sangat kecil), R (rumah tangga), B (bisnis), I (industri), P (pemerintah). Masing-masing golongan tersebut dibagi-bagi lagi seperti R1, R2, R3 berdasarkan batas dayanya.

Dalam Keppres tersebut juga sangat jelas pemakaian Tarif Multiguna sebesar Rp 1380/kWh yakni tarif yang digunakan selain untuk golongan S, R, B, I, P, Traksi dan Curah. Sehingga secara aturan perundangan, rencana pemerintah untuk menggunakan tarif multiguna (non subsidi) untuk pelanggan golongan R3 yang berjumlah 81.737 (data bulan September 2007) tidaklah tepat tanpa mengubah aturan yang ada, dalam hal ini Keppres. Hal tersebut bisa menjadi dilema bagi pemerintah mengingat kebutuhan untuk menaikkan tarif dasar listrik disebabkan biaya produksi yang melebihi dari tarif listrik ke pelanggan itu sendiri menjadi beban APBN dari tahun ke tahun, dan hal tersebut bisa jadi keputusan yang tidak populis.

Wednesday, March 12, 2008

PLN Kaji Ulang Tarif Disinsentif

Setelah sekian kali dkritisi oleh masyarakat, akhirnya pihak PLN mengkaji ulang kebijakan tarif disinsentif. Perlu goodwill dari pemerintah untk mengkaji kembali dan menetapkan tarif yang terbaik untuk rakyat kebanyakan, mengingat sebagian besar pelanggan ialah rakyat kebanyakan.

http://www.detikfinance.com/index.php?url=http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/12/time/193907/idnews/907475/idkanal/4

Monday, March 10, 2008

Sebagian Kisah di Ajang Internasional

Bosan dengan tulisan-tulisan serius? hehe. Berikut saya akan coba menuangkan sekilas bagian perjalanan hidup saya. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kawan-kawan.
Salah satu hobby saya ialah travelling (dalam rangka menimba pengalaman dan hikmah). Dari sekian perjalanan yang saya lakukan, baik di dalam dan luar negeri, saya masih merasa sangat tidak cukup sebab bumi Allah masih sangat luas sekali untuk dipijak :). Nah, cerita berikut adalah bagian dari perjalanan ke Malaysia dan Filipina. Selamat menikmati :D
Satu tahun yang lalu diadakan 2nd ASEAN Student Leaders Summit and Cultural Festival 2007 di Filipina. Acara ini diadakan mulai tanggal 22-26 Januari 2007 di Pampanga, Filipina dengan melibatkan Negara-negara anggota ASEAN serta Negara partner ASEAN yakni Korea Selatan, Cina dan Macau.
Agar diketahui sekilas bahwa Filipina merupakan koordinator ASEAN saat itu. Filipina merupakan negara kepulauan seperti Indonesia dengan jumlah pulau sebanyak 7.107 buah. Bahasa resmi Filipina adalah Filipino (tagalog) dan English. Bahasa Inggris merupakan bahasa yang luas digunakan di Filipina, termasuk dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Mata uang Filipina adalah Peso, yang terbagi menjadi 100 centavos. Apabila dilihat dari nilai tukar mata uang, maka Peso lebih tinggi daripada Rupiah (1 peso sekitar 50 rupiah). Namun nilai tukar tersebut tidak dapat dijadikan ukuran perbandingan apakah suatu negara lebih maju atau tidak daripada negara lain, karena yang paling penting adalah stabilitas nilai mata uang.

Acara tersebut didanai oleh ASEAN Foundation. Lembaga tersebut merupakan salah satu badan ASEAN yang berfungsi mendanai dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan diantara anggota ASEAN, termasuk kegiatan pemuda. Tema dari kegiatan tersebut ialah Awareness and Unity Among ASEAN Youth, untuk itu tujuan dari acara tersebut ialah memberikan dan membentuk wawasan, pengetahuan dan kesatuan diantara pemuda-pemuda ASEAN. Metodologi yang digunakan dalam acara tersebut ialah workshop, diskusi dan seminar yang dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi dari tiap peserta untuk berkontribusi dalam membuat solusi atas suatu permasalahan dikalangan pemuda ASEAN pada umumnya. Adapun beberapa tema yang akan didiskusikan antara lain adalah sebagai berikut :

ü Visi dan kebijakan dalam pembangunan kesadaran ASEAN diantara pemuda

ü Tanggungjawab umum dan kesadaran akan ASEAN

ü Pemuda dan wirausaha

ü Semangat Sukarelawan dan Tanggungjawab Sosial

ü Jaringan dan Info Pertukaran diantara Pemuda ASEAN

ü Peran Pemuda ASEAN dalam Perubahan di ASEAN

ü Cita-cita para Pemimpin ASEAN

Acara ini relatif mendadak diberitahukan dari pemerintah/kedubes kepada pihak universitas. Surat dari pihak kedubes sampai ke ITB sekitar 2 pekan sebelum acara. Dari Indonesia terdapat 10 delegasi, 4 diantaranya (termasuk saya) dibiayai oleh ASEAN Foundation. Untuk ticket, karena tidak ada pesawat yang langsung ke Filipina, maka harus memilih pesawat yang transit terlebih dahulu di Singapura atau Malaysia pada tanggal penerbangan 21 Januari. Dikarenakan untuk pesawat yang transit ke Singapura biaya tiketnya lebih mahal, maka saya memilih pesawat yang transit ke Malaysia.

Pada tanggal 21 Januari, pagi hari saya berangkat ke bandara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat Air Asia berangkat sekitar pukul 9 pagi dan sampai di Malaysia sekitar pukul 1 siang waktu Malaysia, untuk kemudian saya akan “terbang” kembali ke Pampanga, Filipina esok paginya pada tanggal 22 Januari sekitar pukul 7 pagi waktu Malaysia. Terus terang, ini adalah pertama kalinya saya “terbang”. Untuk itu masih agak sedikit khawatir, terlebih tidak beberapa lama sebelumnya terjadi peristiwa pesawat Adam Air yang “hilang”. Ketika pesawat take off, kepala agak pusing karena mugkin baru pertama kalinya. Sampai di”udara” pesawat terkadang “gemetar”, dan hal itu membuat saya khawatir, bahkan sempat beberapa kali memasuki cuaca buruk. Namun Alhamdulillah, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir seiring dengan berjalannya waktu.

Sampai di Malaysia pada tanggal 22 Januari pukul 13, saya langsung mencari hotel yang murah dan dekat. Namun ditawarkan oleh supir taksi untuk booking hotel yang murah di kota Kuala Lumpur agar bisa jalan-jalan, karena daerah dekat bandara tidak ada ‘sesuatu’ yang dapat dilihat kecuali kebun sawit. Akhirnya saya meng-iyakan supir taksi tersebut. Perjalanan dari KLIA (Kuala Lumpur International Airport) ke kota KL kurang lebih memakan waktu 1 jam. Sampai di hotel yang relatif murah di tengah kota KL. KL city adalah kota yang tidak lebih besar dibanding Jakarta, hanya saja lebih rapih dan teratur. Semalam di KL city, pengalaman yang sangat berharga. Berjalan-jalan di Twin Towers, KL Tower, lalu keliling-keliling dengan menaiki mono rail. KL city merupakan kota yang ‘hidup’, sampai dengan tengah malam masih ramai, terutama turis asing. Adapun etnis yang paling banyak terdapat di KL dan Malaysia pada umumnya ialah etnis Melayu, Cina dan India. Mereka semua masih memegang budaya aslinya dan terlihat saling menghargai satu sama lain.

Esok paginya saya dijemput kembali untuk ke bandara oleh taksi yang mengantar saya ke hotel di KL city. Pesawat Air Asia yang akan saya naiki berangkat pada pukul 7.15 menuju Pampanga, Filipina. Akhirnya sampai di KLIA pukul 6.45. Namun ternyata ‘gate’ untuk Air Asia Flight sudah ditutup L. Saya baru tahu kalau gate tersebut tutup 45 menit sebelum pemberangkatan. Jadi....saya harus membeli tiket lagi untuk pemberangkatan esok harinya serta mencari hotel yang benar-benar dekat dengan bandara. Akhirnya untuk hari kedua saya masih berada di Malaysia, namun kali ini di daerah Sepang. Daerah yang tidak seramai KL, namun cukup terkenal dengan sirkuit F1 nya.

Tanggal 23 jan akhirnya saya bisa ‘terbang’ ke Filipina, karena sudah berpengalaman, maka sudah tidak merasa khawatir J. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam. Sampai Pampanga sekitar pukul 11 waktu Filipina. Ternyata Pampanga, Filipina tidak lebih baik daripada Bandung, hal itu terlihat selama perjalanan darat dari bandara Clark, Pampanga, Filipina menuju lokasi acara. Agak panas seperti Jakarta, kurang rapih. Sampai lokasi, saya langsung menuju ruang acara karena sudah telat 1 hari. Selama acara cukup banyak mengenal kawan2 yang berasal dari negara-negara ASEAN serta Korea Selatan, China dan Macau. Kami juga saling bertukar informasi mengenai kondisi dan budaya masing-masing negara. Hampir tiap hari sampai dengan pukul 8 malam diisi dengan seminar dan diskusi kelompok secara terstruktur terkait dengan isu-isu kepemudaan di ASEAN. Acara sampai dengan tanggal 26 Jan, dan kami pun serta panitia sudah menyiapkan closing ceremony yang merupakan penampilan dari budaya masing-masing negara. Namun sayang, saya tidak bisa sampai akhir acara, karena pada tanggal 27 saya sudah harus di Jakarta untuk sidang MWA. Maka saya ambil flight tanggal 26 pagi menuju KL-Jakarta, dengan transit di KLIA sekitar 4 jam. Tanggal 25 adalah hari terakhir saya di Pampanga, maka saya berinisiatif untuk jalan-jalan sekaligus mencari oleh-oleh. Ternyata disini cukup banyak prostitusi dan juga gay (termasuk di universitas-universitas). Menurut kawan-kawan dari Filipina diantara 10 laki-laki terdapat 1 orang gay (hehe serem euy). Walaupun kami (saya dan rekan-rekan dari berbagai negara) hanya mengenal sekilas, namun terlihat sudah cukup akrab, dan kami pun berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi. Di akhir acara pada tanggal 26 akan ada deklarasi, tiap negara diwakili 1 orang untuk menyusun deklarasi ASEAN Youth Leaders. Saya ditunjuk oleh kawan-kawan dari Indonesia untuk menjadi wakil Indonesia dalam menyusun deklarasi tersebut, namun dikarenakan saya harus pulang pada 26 pagi, maka penyusunan deklarasi tersebut saya serahkan kepada kawan saya dari HI UI, saya hanya menitipkan agenda terkait pemberantasan korupsi khususnya perjanjian ekstradisi dengan singapura serta isu pendidikan. Deklarasi ini yang kemudian dijadikan sebagai salah satu rekomendasi dari para pemuda untuk ASEAN. Akhirnya saya pun meninggalkan Pampanga pada pukul 10 menuju KL-Jkt. Sampai Jakarta pukul 9 malam dengan selamat. Alhamdulillah, cukup banyak pengalaman dan kawan yang diperoleh disana. Oh iya ada satu lagi, sebelum saya pergi meninggalkan Filipina, sempat membuat deal tidak tertulis dengan kawan-kawan dari berbagai negara untuk senantiasa menjaga komunikasi kami agar kelak suatu saat nanti dapat bermanfaat bagi masing-masing negara dan regional ASEAN karena student now, leader tomorrow.

Sekian sebagian cerita dari perjalanan di 2nd ASEAN Student Leaders Summit and Cultural Festival 2007. Sebenarnya masih ada lagi, tapi.......nanti aj lagi yaaa... J

Cerita selanjutnya (tunggu tanggal mainnya).....ASEANpreneurs Youth Leaders Exchange 2008, Singapore...(Ajang kedua di dunia internasional :D)

Tuesday, March 04, 2008

Kenaikkan tarif listrik gaya baru ??

Assalamu'alaikum wr wb

PLN sebagai salah satu BUMN kembali menuai kontroversi dengan kebijakan yang dikeluarkan, yakni tarif insentif dan disinsentif kepada para pelanggan rumah tangga (rakyat kebanyakan) yang merupakan kelompok mayoritas pelanggan listrik di Indonesia. Adapun tarif ini akan mulai diberlakukan mulai April 2008. Beberapa pihak menyatakan bahwa kenaikan tarif ini dilaksanakan sepihak oleh PLN. Padahal seharusnya ditetapkan dan diputuskan oleh pemerintah, mengingat kebutuhan listrik terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Seperti penjelasan PLN, tarif progresif ini ditentukan berdasarkan pemakaian rata-rata semua golongan pelanggan nasional selama tahun 2007.

Berdasarkan data ini, rata-rata pemakaian pelanggan golongan R1 450 VA adalah 75 kilowatt hour (kWh), R1 900 VA sebesar 115 kWh, R1 1.300 kWh sebesar 201 kWh, R1 2.200 VA sebesar 358 kWh. Untuk golongan R2 (2.200 - 6.600 VA) sebesar 650 kWh dan R3 (> 6.600 VA) sebesar 1.767 kWh. Dari data tersebut, PLN menentukan angak 80% dari rata-rata pemakaian.

Berikut tabel batas insentif dan disinsentif pelanggan
GOLONGAN INSENTIF DISINSENTIF
R1 (450 VA) <> 60 kWh
R1 (900 VA) <> 92 kWh
R1 (1.300 VA) <> 160,8 kWh
R1 (2.200 VA) <> 286,4 kWh
R2 (2.200 - 6.600 VA) <> 520 kWh
R3 (> 6.600 VA) <> 1.413,6 kWh

Dari tabel di atas, misalnya jumlah pemakaian listrik pelanggan R1 - 450 VA pada bulan Maret di bawah 60 kWh, maka pelanggan tesebut akan mendapatkan insentif berupa pemotongan tarif. Sebaliknya, jika konsumsinya melebihi 60 kWh, akan dikenai disinsentif atau tarif yang lebih mahal.

Perhitungan insentif ini adalah 20% dari selisih pemakaian rata-rata nasional dengan pamakaian pelanggan dikalikan tarif listrik. Sedangkan formula perhitungan disinsentif adalah 1,6 dikali selisih pemakaian pelanggan dengan 80% rata-rata pemakaian nasional dikalikan tarif listrik.

Berikut contoh perhitungan insentif:
Misalnya pelanggan R1 (450 VA), dengan jumlah pemakaian listrik bulan Maret sebesar 50 kWh. Perhitungannya adalah 20% x (75 kWh - 50 kWh) x Rp530 = Rp2.650.
Nilai Rp2.650 ini adalah jumlah potongan (insentif) pelanggan tersebut. Rp530 adalah harga tarif dasar listrik untuk R1 yang paling mahal.
Jadi, jumlah yang harus dibayarkan pelanggan ini adalah (50 kWh x Rp530) - Rp2.650 = Rp26.500 - Rp2.650 = Rp23.850.

Berikut contoh perhitungan disinsentif:
Misalnya jumlah pemakaian pelanggan R1 (450 VA) sebesar 90 kWh. Perhitungan nilai disinsentifnya adalah 1,6 x (90 kWh - 60 kWh) x Rp530 = Rp25.440.
Jumlah yang harus dibayar pelanggan ini adalah (90 kWh x Rp530) + Rp25.440 = Rp47.700 + Rp25.440 = Rp73.140.


Dari perhitungan tersebut, maka kemungkinan sangat besar bahwa pelanggan rumah tangga akan terkena disinsentif. Hal tersebut bisa dianalogikan dengan penaikkan tarif listrik gaya baru. Misal saja kita punya rumah kontrakan RI 450 VA dengan isi Televisi, laptop, dsb. Dengan televisi berdaya 200 watt dan laptop 65 watt. Apabila pemakaian TV 6 jam sehari selama 30 hari, maka total pemakaian ialah 36 kWh sedangkan laptop dengan pemakaian 12 jam sehari selama 30 hari sejumlah 23,4 kWh. Sehingga total TV dengan laptop saja sebesar 59,4 kWh, apabila ditambah dengan barang2 elektronik lain maka akan lebih dari 60 kWh. Sehingga tiap bulan kita akan dikenai disinsentif 1,6 kali dari biaya seharusnya, itupun kalau PLN memberitahu jumlah pemakaian (kWh) kontrakan kita (sebab seringkali pelanggan tidak tahu berapa besar pemakaian daya rumahnya dalam satu bulan).

*dari bbrp sumber

Wednesday, February 20, 2008

Benua Atlantis itu (ternyata) Indonesia

atlantis-indonesia-map-3.jpg MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh
hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu
mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal
sebagai Benua Atlantis! . Apakah ada hubungan antara Indonesia dan
Atlantis?
Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi
berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa,
pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian
permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang
hilang atau Atlantis.
atlantis-indonesia-map.jpg Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa
Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah
melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis,
The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of
Plato’s Lost Civilization (2005). santos-atlantis.jpg Santos menampilkan 33 perbandingan,
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara
bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah
Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya,
ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir,
dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks Indonesia
Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960,
mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara
Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah
nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya
sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua
yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang)
sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang
aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale,
terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa
itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es
(era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia
(dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal
dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan
gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau
Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu.
Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya
serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau
menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol).
Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam,
ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia
bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera
(ocean) secara menyeluruh.
Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi
secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di
kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan
Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil
itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung
berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera
sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung
berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan
luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai
benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh
gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia,
tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai
bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua
Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh
Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik
terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata,
“Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada
Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu
adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik
Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di
Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar,
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani.
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya
tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian
meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan
gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur
yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui),
tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah
dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya
sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu
bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris
Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak
rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada
masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan
bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya
kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. ***
Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis

Monday, February 18, 2008

Perjuangan Menkes Menghadapi Imperialisme Global

Link harian republika :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=323163&kat_id=19

Resonansi, Republika 13 Februari 2008
Perlawanan Siti Fadilah Supari

Oleh : Asro Kamal Rokan
Wajahnya serius membicarakan ketidakadilan negara-negara maju. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Dr Siti Fadilah Supari, satu dari sedikit warga dunia yang keras membela hak-hak negara berkembang di tengah dominasi badan resmi dunia dan negara adikuasa. Ia melawan dan berhasil.

Majalah The Economist London menempatkan Siti Fadilah sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist (10 Agustus 2006).

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika virus flu burung (Avian Influenza/AI) menelan korban di Indonesia pada 2005. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Ini tidak adil, negara-negara lemah yang terkena tidak memperoleh apa-apa. Untung saja ada bantuan dari India, Thailand, dan Australia.

Korban terus berjatuhan. Di saat itu pula, dengan alasan penentuan diagnosis, badan kesehatan dunia (WHO) melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hong Kong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Perintah itu diikuti Siti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium Litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hong Kong?

Siti Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah dibuat vaksin. Ironisnya, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin, tanpa kompensasi.

Siti Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabatnegara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Siti Fadilah membaca di The Straits Times Singapura, 27 Mei 2006, bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Siti Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.

Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan: tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa November lalu, sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Prof Siti Fadilah anak bangsa yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Bangsa ini memerlukan banyak orang seperti Siti Fadilah, yang berjuang untuk keadilan, kadaulatan, dan kesetaraan. Ia inspirasi untuk bangsa yang bangkit.

Saturday, February 16, 2008

The 12 Pillars of Competitiveness

First pillar: Institutions
The institutional environment forms the framework within which private individuals, firms, and governments interact to generate income and wealth in the economy. The institutional framework has a strong bearing on competitiveness and growth.

Second pillar: Infrastructure
The existence of high-quality infrastructure is critical for ensuring the efficient functioning of the economy, as it is an important factor determining the location of economic activity and the kinds of activities or sectors that can develop in an economy. High-quality infrastructure reduces the effect of distance between regions, with the result of truly integrating the national market and connecting it to markets in other countries and regions.

Third pillar: Macroeconomy
The stability of the macroeconomic environment is important for business and, therefore, is important for the overall competitiveness of a country.

Fourth pillar: Health and primary education
A healthy workforce is vital to a country’s competitiveness and productivity

Fifth pillar: Higher education and training
Quality higher education and training is crucial for economies that want to move up the value chain beyond simple production processes and products.

Sixth pillar: Goods market efficiency
Countries with efficient goods markets are positioned to produce the right mix of products and services given supply-and-demand conditions, and such markets also ensure that these goods can be most effectively traded in
the economy.

Seventh pillar: Labor market efficiency
The efficiency and flexibility of the labor market are critical for ensuring that workers are allocated to their most efficient use in the economy.

Eighth pillar: Financial market sophistication
An efficient financial sector is needed to allocate the resources saved by a nation’s citizens to its most productive uses.

Ninth pillar: Technological readiness
This pillar measures the agility with which an economy adopts existing technologies to enhance the productivity of its industries.

Tenth pillar: Market size
The size of the market affects productivity because large markets allow firms to exploit economies of scale.

Eleventh pillar: Business sophistication
Business sophistication is conducive to higher efficiency in the production of goods and services.This leads, inturn, to increased productivity, thus enhancing a nation’s competitiveness.

Twelfth pillar: Innovation
The last pillar of competitiveness is technological innovation.Although substantial gains can be obtained by improving institutions, building infrastructure, reducing
macroeconomic instability, or improving the human capital of the population, all these factors eventually seem to run into diminishing returns.The same is true for the efficiency of the labor, financial, and goods markets. In the long run, therefore, when all the other factors run into diminishing returns, standards of living can be expanded only by technological innovation. Innovation is particularly
important for economies as they approach the frontiers of knowledge and the possibility of integrating and adapting exogenous technologies tend to disappear.

Based on those pillars, Indonesia now in 54th position among 131 countries.

The question is, in what pillar(s) we can contribute to accelerate Indonesia competitiveness? ?

*taken from The Global Competitiveness Report 2007-2008